Mak Je Gagik
Suara telepon berdering nyaring seperti suara gesekan bambu di musim kemarau.
Sinta yang baru saja selesai mandi tiba-tiba kaget lari tanpa memakai handuknya.
“ Haloo?? Dengan Sinta disini.”
“Hai Sinta.. Apakah kau masih bisa mengenal suaraku? Ingatkah kau saat di taman yang indah yang dipenuhi burung-burung gagak yang sedang mengiringi kepergian sesepuh di desa sebelah taman itu?”
Sinta pun kaget, dia ingat bahwa waktu itu Rahwana sedang merayunya. Secepat kilat, Sinta menutup teleponnya dan lari ke dapur untuk meminum air putih.
Sinta kini bukan bocah lagi, walaupun rambutnya masih pendek, tapi cita-citanya masih panjang. Sepulang dari melihat hasil pengumunan, ia sangat bangga dan menceritakan kepada semua tabib di istana bahwa dia lulus dengan nilai tertinggi. Suatu kebanggaan bagi keluarga besar Prabu Janaka.
Ia memutuskan untuk kuliah di Srilangka, di universitas ternama itu nama Sinta semakin harum dan mekar di perpustakaan-perpustakaan fakultas.
Di pintu masuk perpustakaan fakultas Sinta kaget, melihat seorang lelaki yang berdiri untuk mengembalikan buku.
“Sinta namamu tentang buku-buku kuno di perpustakaan, diantara himpitan lemari-lemari kaca, dan diselipkan dintara karya-karya baru. Baumu seperi aroma melati yang ditaburkan diantara ribuan bidadari-bidadari kahyangan. Suaramu menggema disela-sela gedhog dan sisiran keprak dalang-dalang Surakarta. Rambutmu indah, seperti pelepah palma muda.” Begitulah dalang-dalang muda melukiskanmu dalam setiap pocapan.
Tatapan Sinta tajam pada lelaki itu, tanpa lelaku Sinta akan berlalu. 31 hari lelaki itu lelaku agar Sinta tak berlalu, tak ada ragu dan sabar menunggu. Di perempatan, di pertigaan, dan di simpang lima bayang-bayang Sinta menjelma di lampu-lampu jalanan sepanjang kota, suaranya menyatu dalam alunan-alunan angklung yang dimainkan oleh seniman jalanan.
Lelaki itu berhenti sejenak, merasakan getaran roda dua yang telah menemaninya dari parkiran kampus. Sejenak menghela nafas, mencari makna disela tebalnya polusi kota. Keyakinan akan sebuah cinta tidaklah dapat ditempa, lelaki muda itu memang sudah jagonya olah rasa.
Tak heran dia berkata pada tukang parker dekat Polres lama dengan jantannya.
“Apakah bapak setiap hari bekerja disini? Bukankah disini sudah bukan tempat bapak untuk mencari bahagia?” Ucap lelaki muda itu.
“Hei anak muda, maksudmu apa berkata seperti itu? Aku tak punya daya, dan aku bukan lelaki tua yang mempunyai anak-anak yang setia menjaga.” Ucap tukang parkir itu dengan lembutnya.
Sejenak lelaki muda itu ingat pada orang tuanya, 2 minggu kemudian datanglah masa liburan, dia merancang waktu untuk dapat pulang ke kampung halaman.
Tak terasa masa liburan sudah tiba, lelaki muda itu sudah sampai rumahnya. Tak ada yang lebih indah selain mencium dan memeluk kedua orang tuanya. Daun-daun di halaman rumah pun juga ikut menyambutnya, hangatnya mentari pagi hari menyapa dari lelapnya mimpi semalam. Menceritakan pengalaman selama di Srilangka adalah jamuan menu utama sarapan, ayahnya bangga pada anaknya. Seorang lelaki yang telah mendidiknya sampai besar, 1 tahun tak berjumpa karena faktor biaya, bagaimana bisa hilang rasa yang dibangun semasa kecilnya, tidak untuk lelaki muda.
Seminggu telah berlalu, dan waktu yang akan memisahkan kembali pada tepat yang dituju. Lelaki muda itu segera membawa tasnya, restu orang tua yang menemaninya sampai kota. Dia ingat, waktu itu pepohonan, dan prenjak-prenjak juga mengiringinya, itulah restu kedua setelah orang tua, yaitu restu bumi.
Sinta, kak kik kuk, kuk kak kik
Sinta, kik kuk kak, kak kik kuk
Aku mendengar suara yang membuatmu terbata-bata.
Tapi. Apa yang bisa kubawa untuk perasaan yang terus bersendawa ini?
Apa yang bisa kuminum untuk mengobati hausnya penantian ini?
Aku terus menanti, bahkan menghitung hari. Tapi kata tak pernah ada, tak pernah nyata.
Lalu, bagaimana engkau bisa tahu tentang sejatinya rasaku?
Apa mungkin, prenjak dan pepohonan nangka di kampung halamanku yang akan mengabarimu?Ah, kurasa tidak, mereka hanya burung yang membawa nyawa.
Aku banyak bertanya pada setiap makna, bahkan setiap kataku pun hanya berisi tanya.
Cinta demikian beratnya tanpa kata, bahkan sebelum kaku merayuku.
Tak apa, walau ratusan kilometer jaraknya, kicau prenjak tak pernah redup dan bercanda.
Tunggulah esok hari, aku masih bermimpi prenjak ditaman rumahmu.
Begitulah surat yang ditulis lelaki muda itu sewaktu dikereta, surat yang telah dilipat seperti burung prenjak pun kini berharap dapat terbang bersama angin-angin perbukitan.
Pukul 09.45 di Srilangka, meja-meja kelas yang berdebu mulai terlukiskan kenangan selama dikampung halaman. Sinta yang waktu itu duduk di taman sambil membaca sedikit melirik, melirik pada waktu yang dianggap lama. Oke, kuliah harus dimulai, tapi Sinta masih dilantai 2.
“Baik Sinta, kamu sudah terlambat, sila tutup pintunya dari luar.” Tegas pengampu mata kuliah itu.
Rasa kesal dan greget membuat Sinta semakin terlihat anggun, matanya sayu seperti lembayung yang baru saja dipetik pak tani. Tiba-tiba jatuhlah dihidungnya kotoran prenjak yang terbang diatasnya, dasar Sinta suka memperhitungkan sesuatu kecil bahkan tidak penting yang dialaminya.
Dua hari kemudian, datanglah tukang pos di kontrakannya, “Nona Sinta, ada titipan surat yang dilipat seperti burung prenjak.”
“Baik pak, terima kasih.”
Ternyata prenjak tentang sebuah keberanian seorang lelaki, tentang badai masa muda yang melanda jiwa setiap manusia. Sinta masih saja tidak mengerti dengan surat yang dlipat-lipat seperti burung prenjak itu.
Malam yang dingin setelah hari kamis setelah Kamis Wage adalah malam Sukro Kasih. Suratmu sudah dibaca oleh Sinta, tapi Sinta justru lebih suka melipatnya, kertas yang berbulan-bulan lamanya itu kini dilipat seperti kapal terbang yang digantungkan dilangit-langit kamarnya. Waktu sudah menunjukkan tengah 00.00 menurut hitungan di Srilangka, surat yang dilipat seperti kapal terbang itu kini jatuh di dada Sinta yang begitu indah. Sentak, kaget dan terbangun, ternyata Sinta hanya bermimpi, bukankah bunga yang dipetiknya tiga bulan yang lalu kini telah layu, tapi ternyata tidak sepenuhnya, sisanya kini masih hidup dan mengembara didalam sanubari dan mimpi-mimpi Sinta.
Komentar
Posting Komentar