Meneladani Sikap Kumbakarna, Satria Bela Negara?
Membela negara harus dilandasi sikap seorang ksatria, menyumbangkan jiwa dan raga untuk bangsa dan negara agar tetap kukuh dan kokoh. Meneladani sikap Kumbakarna, satria dari Alengka yang kuat, besar, dan ditakuti di medan laga.
Saat Prabu Rahwana menculik Dewi Sinta dari Prabu Rama, hal ini membuat kekacauan di Alengka. Kesalahan dan kemurkaan satu orang bisa melahirkan bencana dimana-mana, saat itu pasukan kera dari Ayodya yang dipimpin oleh Hanoman menggempur Alengka. Banyak orang yang tidak bersalah mati karena kerakusan seorang raja, banyak perempuan yang menjadi janda, dan anak-anak kehilangan ayah ibunya.
Dibangunkanlah dari tidur yang panjang, bertapa dari segala murka dunia. Saat itu utusan Prabu Rahwana telah berhasil membangunkan Kumbakarna dan memintanya untuk menghadap Prabu Rahwana. Tibalah di Alengka, sang raja telah mengharapkannya. Negara telah digempur oleh ribuan pasukan wanara, banyak prajurit yang sudah kehilangan nyawanya, Kumbakarna pun mengelus dada. Karena mengambil yang bukan haknya adalah pekerjaan orang murka, Prabu Rahwana tetap kukuh membawa Dewi Sinta.
Pilihannya hanya dua, membela sang raja yang murka atau membela negara. Kumbakarna tak padam, jiwanya membentang menjadi benteng-benteng kekuatan negara, dusta yang dilakukan sang raja pun dilupakannya, ia tak pernah perduli dengan apa yang telah diputuskannya, pikirnya hanya satu untuk menjaga kekokohan negara. Berangkat lah Kumbakarna, membentengi ribuan bala tentara, kakinya menendang ratusan kera-kera yang menghalanginya, bukan mengingat kedua anaknya yang lebih dulu gugur mendahului, pikirnya hanya satu menjaga keutuhan dan memadamkan api di Alengka. Tetapi kehendak berkata lain, sang satria pun gugur di medan laga, jiwanya harum terbang mengitari medan pertempuran, menjadi saksi gugurnya pahlawan kusuma negara.
Tidak berbeda dengan para pahlawan bangsa ini, mereka rela kehilangan harta benda, bahkan meninggalkan keluarga bertahun-tahun lamanya. Bagaimana bisa, tak bisa kita bayangkan rasa rindu bahkan haus kasih saying dari anak-anak dan istri yang mereka tinggalkan, mereka hanya meninggalkan secuil kata tentang harapan yang kosong. Merdeka, ya hanya itu yang mereka inginkan dan teriakkan.
Sekarang tugas kita adalah merawat dan mengisi kemerdekaan, dengan semangat pancasila kita harus bisa menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang kreatif, inovatif, dan prospektif. Kekayaan bangsa, dari alam dan budayanya harus bisa kita kelola dengan sebaik mungkin. Jika tradisi dan budaya belum kita pahami, mustahil modernisasi bisa kita kembangkan sesuai dengan karakter bangsa ini. Bangsa ini harus bisa menginspirasi dengan menjunjung tinggi asas kebhinekaan dan semangat jiwa pancasila, memanfaatkan teknologi untuk mengenalkan kekayaan alam dan kebudayaan negeri ini.
Teknologi-teknologi itu harus bisa kita kuasai untuk merangcang dan lebih menghidupkan negeri ini, pilihannya tidak banyak tergantung pada diri kita sendiri. Kalau semua hanya ingin jaya tanpa melakukan apa-apa, lalu bagaimana nasib bangsa ini? Marilah menjadi ksatria bangsa yang berjiwa pancasila dengan menjunjung asas kebhinekaan, jadikan teknologi yang dilandasi cita-cita para pendiri bangsa menjadi ujung tombak negeri ini agar kita dapat melawan arus modernisasi yng tidak sesuai dengan budaya dan tradisi.
Komentar
Posting Komentar