Sinta


Sinta.. Sudah beberapa hari kertas ini kusimpan. Kertas yang awalnya tipis kini bertambah tebal, ya mungkin karena udara di pegunungan semakin dingin. Setelah pulang dari bertapa itu, aku menaiki perahu bambu di sungai kecil itu.


Ada katak kecil numpang di perahuku, aku jadi semakin ragu kalo perahu ini akan semakin lama sampainya, padahal waktu terus memburuku. Tak tau siapa yang lebih dulu melewati, tapi aku melihat air sudah tak tenang, mungkin waktu yang lebih dulu melewati.

Tapi Sinta, yang terpenting aku tetap yakin bahwa perahuku akan sampai, tiba ditempat yang semestinya. Burung-burung bangau dipinggir sungai itu nampaknya hanya memikirkan perutnya, atau memang mereka tak perduli pada keinginan manusia.


Sinta… Sekali lagi aku minta maaf  ya, perahuku sudah pasti terlambat. Kau tahu? Yang baik itu perlu waktu bukan? Kukira bukan masalah cepatnya, tapi tepatnya. Ku kira memang arus sungai yang membawa perahuku tahu, bahwa waktu selalu memburu. Tapi apa yang perlu diburu? Cinta kan bukan buruan.
Kau tahu Sinta? Setiap waktu adalah penantian panjang, yang rumpil. Apa kau ingat, Sinta? 13 tahun telah kau lewati, terbelenggu dan terkurang dalam masa kanak-kanak, kalo orang Jawa selalu menyebutnya dalam masa “Petakilan”. Sinta, anganmu luas batinmu keras, dari semua yang mengeras akan melumut dilebur kemarau, disapu badai dari kedewasaanmu. 



Ya, 13 tahun adalah waktu yang lama untukmu memanjangkan rambut, bahkan cukup untukmu belajar bersanggul. Tapi Sinta, apakah kau masih sama? Tapi yang ku tahu kau masih sama, tetap Sinta yang lama. Benar kata leluhur kita, watuk itu bisa diobati, kalau watak? Ciri wanci digowo mati” Ah begitulah, aku juga lupa artinya.




Ah, Sinta. Aku mau mengajakmu sedikit mengingat kisah Kumbakarna, dia perang membela negara? Kalau setahuku, hmmmm dia membela negara yang salah, kau ingat waktu di Taman Soka? Ah sudahlah, aku hanya ingin sedikit mengingatkanmu, sudah semua hanya masa lalu. Aku tak mau mengingat Kumba-Kumba, anak Kumbakarna yang menyusul ayahnya di medan perang, keduanya gugur dalam keadaan lucu-lucunya,sudahlah itu semua karena tresna. 


Tapi kini perang sudah usai bukan?

Atau, hmm ya mungkin sudah. Kamu pasti bingung tentang hal ini, hmmm atau kau memang tak suka bertanya. Ya, Sinta.. kau wanita yang mengerti tanpa bertanya.
Atau kau lebih suka dengan cerita yang ini? Tentang sebuah harapan yang membuat kita mati didalam hidup, lalu hidup didalam mati? Atau tentang sebuah keinginan dari penderitaan?Tapi bukankah yang membuat kita terus hidup adalah harapan? Atau tentang cinta yang tak kesampaian? Tapi justru pada akhirnya keduanya bukan saling meniadakan, tapi menguatkan?




Bukan hanya dari jamanmu Sinta, aku selalu hidup dari harapan-harapan itu. Semenjak itu, Dewi Widowati telah menjelma dihidupmu? Sinta, kaukah titisan itu? Gelembung-gelembung itu nampaknya masih berkeliaran di anganku, sebab hidup tentang harapan. Ya kita akan berharap dan diharapkan, dihadapan dan  dihadapkan, pada kenyataan? Kukira ini semua hanya tentang kefanaan yang akan mengantar kita pada surge, ya surga kita sendiri.



Aku selalu berterima kasih pada Hanoman dan bangsanya, mereka membangun Rama Brige yang terbentang ratusan kilo dari Srilangka menuju India, gelumbung-gelembung harapanku itulah yang melumut dibatu jembatan itu. Walaupun sering sekali lakon Rama Tambak itu selalu mengingatkanku pada senyummu dihadapan Rama.



Tak terasa ya, setelah 13 tahun kau hidup di Taman Soka dengan rasa suka dan duka. Kini, sudah 7 tahun kau kembali dipelukan Rama, tak heran seorang lelaki yang pandai merangkai rasa dan membukus nada bisa membuatmu bahagia. 



Tapi Sinta, jika yang 13 tahun dan 7 tahun itu kujumlahkan hasilnya adalah 20 tahun. Kurang sehari pun tak bisa kusebut dua puluh, karena kemarin adalah masa lalu, walau sedetik setelahnya. Ku harap, Sinta.. ini bukan akhir cerita, kurasa harus ada yang melanjutkan cerita, atau mengganti cerita? Kurasa tergantung masanya, seperti manusia, dari kanak-kanak akan menuju remaja, lalu dewasa, dan mungkin akan kembali ke kanak-kanak lagi? 20 tahun setelahnya masih lama, tapi kalau mau mengingat mudah, 2 detik setelahnya pun kau bisa.


Sinta.. Bersiaplah, 20 tahun sudah berlalu. Ancaman terbesarmu adalah sifat-sifat buruk di masa lalumu. Lihatlah !! rambutmu yang tergerai telah dikucir semesta, terikat dipagar bahaya. Kau masih ingat saat bersumpah dihadapan Rama, bahwa kesuciaan seorang wanita selalu terjaga. Tetapi, Rama tak percaya. Kau ingat, dihadapannya kau bersumpah, kesucianmu sanggup melewati kobaran api yang kau bakar sendiri. Ya, nafsu mulia yang membuat kita setia.


Lalu? Begini maksudku.
Adakah kini? Aku berharap? Berharap pada siapa? Lalu untuk apa semuanya? 
Maaf Sinta, aku hanya iseng-iseng saja, aku hanyalah pendoa, siapa tahu Tuhan suka pada canda dalam ceritaku ini. Kuharap kau mengerti tanpa bertanya. Masih tanya?
Adakah perempuan? Yang dibanting tak pecah, dicekik tak menjerit? Yang raganya terurung tapi jiwanya berkeliaran?
Adakah perempuan? Yang buta tapi bisa mewarna? Yang lumpuh tapi bisa mengeliligi dunia? Yang tuli tapi bisa memilah suara? Yang tak dibenteng tapi terjaga?
Adakah perempuan? Yang bisa membuat bersendawa tanpa menghidangkan makan?
Jadi begini, Sinta.. Hmmm kuharap kau tak bosan mendengarnya.




Cantik itu seperti Werkudara, dijegal tak jatuh, dibanting tak pecah, dan dipukul tak hancur. Kuat.
Cantik itu kalo kata Kresna; tak perlu pintar berdandan, yang penting mengerti tanpa bertanya.
Cantik itu, hmmmm kalo kataku; tak perlu telanjang tetap mempesona.
Cantik itu, definisinya gampang. Kalo kata Arjuna, ketetapanmu pada satu nama, yaitu padaku Sumbadra.
Cantik itu, kata Semar pas lagi edan; ya begini harus selalu ngajak rukun.



Maaf Sinta, sepertinya masih lama ya. 
Aku tak mau 20 tahun hanya kau ingat dengan 2 detik saja, ini baru setengahnya, tidak aku cuma bercanda, pasti kau sudah bosan yaa.
Sinta.. Kau tentang waktu, tentang penantian yang sering tersapu oleh angan dan inginku.

Kau tau? Ada sesuatu yang tertunda yang belum bisa kuberikan padamu, mungkin nanti di lain waktu. Atau memang waktu harus menunggu, semoga tak memburu. Semoga kau tak membatu, desember belum berlalu bukan?

Komentar

Posting Komentar

Wayang dan sekitarnya