Di Negeri Atas Awan

        Larut bersama lautan tangis, dihujani gerimis yang tragis, kini kesedihan telah membanjiri seorang lelaki bengis. Sore itu, senja telah sampai pada puncaknya, burung-burung telah kembali pada sangkarnya, namun suara katak-katak dan belibis masih saja mengiringi layar setelah gerimis.


               Senja itu, para petani mulai memanggul cangkulnya. Caping yang melingkar dan mengerucut ke atas itu adalah harta berharga para petani, bentuknya yang melingkar dan mengerucut itu mengingatkan akan sebuah hubungan antar manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

              Kau tahu, Sinta? Setiap yang ditanam tak luput dari sebuah harapan, dan harapan adalah satu-satunya yang membuat para petani itu tetap bertahan. Sinta, di desa itu ada seorang petani yang baik hatinya, dia selalu menggarap dan mengharap padi-padinya tumbuh dengan baik bersama usianya yang kini semakin senja. Hmm.. Pak Tani selalu melantunkan tembang Dhangdhanggula saat mengelilingi sawahnya. Tembang itu adalah sebuah harapan yang baik, dhandhang berarti harapan dan gula artinya manis/legi.


               Konon suaranya itu seperti tangismu loh, Sinta, yang lembut menyelinap ke relung kalbu, dan erat juga seperti tatapanmu. Tapi aku hanya hafal sedikit, Sinta, padahal dulu ia sering melantunkannya untukku juga. Hmm.. sampai sekarang hanya ini yang kuingat, “ Kumbakarna kinen mangsah jurit, mring kang raka sira tan lenggana, nglungguhi kasatriyane, ing tekad datan purun, among cipta labuh nagari, lan nolih yayah rena, myang leluhuripun, wus mukti aneng ngalengka, mangke arsa rinusak ing bala kapi, punagi mati ngrana,” seperti itulah yang sering dinyanyikan Pak Tani, dia menceritakan tokok Kumbakarna dari Negeri Alengka yang mati membela negara, walau negara yang dibelanya salah, semua atas perbuatan kakanya sendiri, yang bermuka sepuluh itu.


                Sinta. Aku merasa kasihan dengan Kumbakarna, dia harus kehilangan kedua anaknya juga, mati di medan laga saat menyusul ayahnya, hmmm… Sinta, kakaknya Kumbakarna itu, mengorbankan seorang yang tak bersalah, maka tak heran kalau negaranya kini hancur berantakan.
Tak terasa, Sinta. Tak sampai habis tembangnya, senja telah berpamitan meninggalkan terang. Sekejap, ia ingat bahwa cangkul yang dipakainya itu, yang terbuat dari bambu yang dulu ditanam di tanah kosong dekat rumahnya, tapi bangganya kini tanah itu telah menjadi masjid yang selalu jadi tempat untuk pulang dan menaruh harapan-harapan para petani Manthili.


           Pak Tani segera pulang, ia melihat samar-samar elang jawa dan burung bangau yang terbang, siluetnya mengingatkan pada harapan-harapan yang telah ditanamnya. Kau tau, Sinta? Pak Tani selalu menanam sayur kangkung dipinggiran sawahnya, hmmm disitulah tempat bangau-bangu itu melepas laparnya. Ikan, belibis, dan katak juga berpadu, berbaur tumbuh bersama kangkung itu. Sinta, dulu aku suka bermain ditempat seperti itu juga loh, ayahku juga selalu mengajakku ke sawahnya, dulu dia selalu memberikan teka-teki padaku, aku disuruhnya mencari dimana “Tepaking kontul alayang, lawan galihing kangkung”. 


           Hmmm.. Maaf, Sinta. Aku masih sering menggunakan istilah-istilah asing ya? Begini maksudnya, teka-teki itu mencari jejak burung bangau yang terbang, dan membelah inti atau isi dari batang pohon kangkung. Kau tau kan, bagaimana bisa burung yang terbang ada jejaknya, lalu batang pohon kangkung yang isinya kosong ada isi di tengah-tengahnya? Kurasa ayahku suka bercanda kepadaku, ya.



                Bukankah semua ini adalah tentang kekosongan, kehampaan, dan kesunyian? Atau tentang harapan-harapan yang membuat kita terus bertahan di bumi ini? Atau, kamu punya cara sendiri untuk sampai ke sesuatu itu, Sinta? Coba sebutkan makna apa saja, yang kamu mau, dan kamu suka.


            Selepas senja itu, Pak Tani menemukanmu diantara bongkahan batu yang melumut di sungai dekat sawahnya. Batu itu konon adalah tempat pemandian para bidadari kahyangan yang turun ke bumi. Kau tau, Sinta? Mereka turun ke bumi di saat gerimis bercampur terik matahari yang menjadikan makna pelangi dilangit ini. Bahkan sebelum senja itu pergi, Pak Tani semapt melihat pelangi yang indah dan cantik melengkung ke sungai itu, Sinta.


         Sinta, Pak Tani kaget melihatmu. Bayi yang tersangkut diantara lumut-lumut, yang kemaluannya ditutupi daun mangkuk itu, tersenyum meringis melihat Pak Tani. Bayi perempuan itu digendong dan dibawa pulang Pak Tani, tangannya yang kuning halus, ada bercak-bercak merah juga, sepertinya tangannya terkena batu yang tajam. Hmmm .. Kasian, Sinta. Kamu tahu? Matanya yang tajam seolah penuh keyakinan, kuku-kukunya indah sekali, Sinta, hidungnya juga. 


          Sesampainya dirumah, istri Pak Tani bertanya, “Ini bayi dari mana, Pak? Kulitnya, halus seperti sutera, matanya tajam penuh keyakinan pak, ini anak siapa?” katanya dengat kaget.


“Pak, bibirnya seperti mengisyaratkan setiap ketulusan dari ucapannya, tapi ini bayi siapa, pak? Pipinya, mengurat hijau seperti lumut-lumut di sungai Gangga. Duh, cantiknya, manisnya, ini bayi siapa, Pak?”, imbuhnya istri Pak Tani.


         “Iya, Bu. Ini bapak menemukannya di antara bongkahan batu berlumut di dekat sungai seberang sawah kita. Hmmm.. kasihan bayi secantik ini dibuang, aromanya seperti keheningan sungai, kulitnya kuning seperti padi-padi di persawahan, senyumnya seperti Dewi Pertiwi, dewi bumi saat mengabulkan harapan para petani.” Jawab Pak Tani dengan senang.

          Sinta, begitulah sebelum pada akhirnya kamu dibesarkan oleh seorang raja dari kerajaan Mantili, Prabu Janaka. Ia adalah raja yang baik hatinya, bahkan suka menolong rakyatnya yang kesusahan, beruntungnya.


        Sinta. Itulah namamu. Pemberian Prabu Janaka, Raja Mantili. Sinta itu menggambarkan aroma kesuburan, konon orang-orang juga mengatakan bahwa istilah namamu juga berasal dari Dewi Sita, yaitu Dewi Bumi yang memberkati hasil bumi yang sangat bagus. Ah, aku juga hanya mendengar dari obrolan pedagang-pedagang pasar disamping rumahku. 

              Para pedagang pasar itu sangat jeli dan teliti saat menceritakanmu, sambil menimbang sayur-sayurnya ibu-ibu itu membicarakanmu. Hmmm.. katanya, ini katanya loh, rambutmu itu halus, kulitmu juga. Apalagi matamu, ibu-ibu pedagang sayur itu menyamakannya seperti tomat-tomat kecil yang baru dipetik, hmmm halus berkilau.


             Sinta, kok aku jadi kesemsem ya. Aku jadi teringat seorang sastrawan hebat negeri ini, kamu tahu kan WS. Rendra? Aku ingat salah satu sajaknya, saat melihatmu melepas ikat di rambutmu itu, “Rambutmu yang rimbun tergerai, bagaikan pelepah palma menyentuh rerumputan, maka teduhlah pangkuanmu, dan kegelisahanku menggeletak disitu, matamu yang melebar memantulkan wajahku…”,begitulah Sinta, sajak dari beliau, Setelah Rambutmu Tergerai.


             Sinta, mungkin kamu sudah tidak ingat ya? Saat Pak Tani menggendongmu memasuki Kerajaan Mantili, para prajurit diam melongo melihatmu.

"Bayi yang di gendong petani itu memancarkan sinar kebaikan? Hmm, apa benar itu anak petani itu?" tanya prajurit merah hati.

"Ah, tak mungkin tak mungkin, oh tak mungkin, pasti itu bukan anak petani, dia memancarkan sinar dari dewi kesuburan, ah anak siapa itu?", imbuh prajurit berbaju merah itu.


              Siapa yang tak heran dengan kecantikanmu, Sinta, wajahmu tenang, kilau matamu seperti berlian, tak heran kau jadi obrolan. Sinta, aku menyebutmu permata diantara hujan, sorot matamu menerangi awan. Kau seperti lumut dibebatuan, walau selalu menjadi buruan, tapi yang tertangkap tetaplah hijaumu.

                Lihatlah, rombongan para petani di seberang itu, mereka bernyanyi dan menari membawa hasil bumi, hmmm anak-anak itu, mereka semakin tak terlihat seperti ditelan jarak, duh Sinta.. kacamataku ketinggalan di atas meja rumah pak Kades, aku baru ingat dan sadar ternyata kita sedang berduaan di negeri atas awan.

(Gendhing Wibisono)

Komentar

Wayang dan sekitarnya