Gelora Rindu Di Argasoka
Sudah berbulan-bulan aku tak mengirim surat padamu, Sinta. Senja ternyata masih sama ya? Setelah perpisahan terakhir kita di hutan yang ditumbuhi ribuan Edelweiss itu, aku terus bertanya-tanya. Sinta, bagaimana kabarmu? Apakah wangimu tetap sama?
Ya. Senja yang belum sempat kuwarnai itu, sinarnya telah tumpah di senandung langit antara perjumpaan dan perpisahan. Sinta, surat terakhir yang kutulis untukmu itu dulunya pernah ditumbuhi sangkaan-sangkaan tengtangmu, tentang kesuciaan dan keteguhanmu.
Sinta. Tak semua perjalanan bisa kita lewati, kita masih perlu bersua pada suasana yang seringkali menggoda jiwa. Apalagi, kita tak lagi bersama, ragamu telah mengembara ke Negeri Alengka, dikurung pada gelembung jiwa murka.
Tapi bukankah jika sudah saling mencinta, perkara tak menjadi apa? Kau bilang setiap perpisahan selalu ada ujungnya, tapi nyatanya yang berujung hanyalah pertemuan. Bukan begitu, Sinta?
Sinta, kudengar Taman Soka indahnya seperti rayuan ya? Di taman itu banyak ditumbuhi syair-syair tentang cinta, bahkan tentang dikuburnya keagungan-keagungan cinta pada masanya ya. Hmm.. Sinta, walau bunga-bunga yang ditumbuhi duri itu telah dibendungi, tapi wanginya telah menembus benteng yang begitu rapatnya.
Aku pernah bercerita ya, tentang perempuan yang ranum bibirnya, dadanya ranum, hmm seperti buah kelapa muda. Kain jarik dan betisnya selaras, kuning kecoklat-coklatan, rambutnya tergerai seperti pepelapah palma, membuat gatal setiap kumbang yang ingin hinggap di hidungnya.
Perempuan yang sering membawa timba, walau keringatnya selalu jatuh di sumur-sumur tua di Taman Soka, tapi langsat kuning kulitnya membuat para lelaki jatuh padanya. Sinta, tapi itu tentang Trijata, putrid dari temanku Gunawan Wibisana.
Sinta. Bagaimana Argasoka? Tentang pohon Nagasari yang rimbun bunganya, tentang kelembutan seorang perempuan yang jujur hatinya. Rimbunnya membangkitkan cinta pada setiap jiwa yang menciumnya, ya apakah kau mengenal pohon itu, Sinta?
Kau pasti mengenalnya, Sinta. Aku kagum dengan kecantikan dari Trijata, tapi aku tak pernah sempat jatuh cinta padanya, aku telah sibuk menggali rindumu, Sinta.
Sinta. Kini sumur yang telah kugali itu airnya sudah tiba di telapak tanganmu, aku tahu itu tak akan pernah bisa mengobati keringnya jiwamu, tapi paling tidak aku telah mengirimkan rinduku untukmu. Air yang awalnya dari tetesan tangismu itu, kini telah mengucur menjadi rindu yang mengikat jari manismu.
Kau pasti sudah memakainya ya?
Aku telah mengirim duta untuk menyampaikannya padamu, dial ah yang keluar dari rimbunan pepohonan Nagari ditaman itu. Hmm.. Hanuman bercerita padaku bahwa ia sempat salah melihatmu, Trijata dikira Sinta, Sinta dikira Trijata. Ku dengar bibirmu kini kering, matamu memerah, tubuhmu menjadi kurus, dan rambutmu tak lurus seperti dulu, ya Sinta? Apa itu benar? Jika semua salah, lalu mengapa cincin yang kutitipkan kepada Hanuman itu terlalu besar di jarimu?
Sinta, nyatanya rindu telah menguras tenaga, membuyarkan warna, dan mengikalkan rasa. Aku ingat, Jatayu dulu menceritakan padaku bahwa Rahwana bukan menggendongmu, tapi ia menjambakmu dan membawamu mengelilingi angkasa.
Maaf ya, Sinta. Aku sudah berburuk sangka padamu, ternyata tinggal di negeri sebrang walau bergelimang kekayaan tak membuatmu senang. Ku kira rindu yang telah kau kirimkan itu telah terbayarkan dengan sarapan-sarapan ditas meja berlapis berlian.
Ya, sisir yang kau titipkan sebagai balasan rindumu itu juga sudah kuterima, Hanuman telah menjaganya dengan baik dan memberinkannya padaku. Rindumu telah utuh dengan dijaga kesuciannya.
Sinta. Hanuman itu walau berwujud wanara tapi jiwanya mencairkan suasana, putihnya penuh charisma, tak heran banyak perempuan-perempuan disana yang jatuh cinta pada kelembutannya, termasuk Trijata.
Sinta, ada patahan-patahan kata yang tak sempat terucapkan untukku ya, aku menunggu ya.
Sore itu, sebelum kau menyelesaikannya, pasukan Alengka telah lebih dulu mengepung Argasoka, Hanuman waktu itu sengaja menyerah, ya dia paham dengan strategi dan Hanuman ingin mengukur seberapa besar cinta Rahwana padamu.
Senja waktu itu telah memerah, sebuah tiang telah siap untuk menggantung Hanuman. Kayu-kayu telah menunggu, menggilas dan membakar bulu-bulu. Di lemparlah kayu yang berbalut api itu pada tubuh Hanuman, seketika api itu menjadi besar setinggi angkasa istana, ia terbakar. Tapi aku heran, Hanuman lebih mementingkan menjaga sisir titipanmu itu, yang selanya ditumbuhi rambutmu. Tapi, nampaknya rindu yang membuat kering bibirmu itu telah menyirami telaga jiwa Ha numan, ia bangkit dan justru api itu malah membakar istana megah Rahwana.
Belum genap satu minggu Hanuman telah menceritakannya padaku.
Sinta, matahari telah bergeser menyinari bumi, mengiringi kepulangan Hanuman dari Alengka menuju Ayodya. Tali pengikat rindu itu telah membentang, dari Argasoka menuju Ayodya, kini rindumu tak lagi karam, karena lautan yang dijaga lawan itu telah sirna digiring cahaya yang berkilauan.
Sinta, kuharap kamu tahu, bahwa rinduku masih menetes padamu. Aku tahu kamu tak mau pulang bersama Hanuman.
Perempuan masih suka dengan rayuan, walau dalam keadaan layu, ia masih suka menunggu. Tapi, Sinta, terima kasih. Keteguhanmu telah membuatku percaya padamu. Aku akan menjemputmu dengan kekuatan syair-syairku dihadapanmu.
Sinta, rindumu telah meneguhkan hatiku. Tunggulah, tak sampai selesai kamu memanjangkan rambutmu, aku akan menjemputmu.
Maaf, mungkin ini surat terakhirku untukmu, aku akan tiba lagi dengan kesedihan-kesedihan yang telah terkubur oleh keteguhanmu.
Sinta. Rinduku tak akan mampu membayar rindumu. Tapi keberhasilanku akan menukarnya degan rindu yang sempat mengkhawatirkanmu.
Salam, untukmu.
Komentar
Posting Komentar