Hujan Sehari di Taman Berduri
Ternyata hidup selalu dihadapkan dengan dua perkara ya, Sinta. Setelah perjumpaan kita di atas bangku teratai Ranu Kumbolo itu tak ada lagi kata pertemuan dan perpisahan, aku adalah kau, dan kau adalah aku.
Kau ingat? Gula yang seperti serpihan berlian itu pernah lebur ke dalam segelas kopi yang pernah kita nikmati. Hmm .. Bibirmu yang merah merekah itu masih terasa hangat di dingin alam malam kala itu, bagai telaga yang selalu mengaliri kenikmatan di setiap rasa dahaga dalam jiwa. Aku masih mengingat betul, Sinta. Kita meminum kopi seperti mengulum anggur, yang mampu tumbuh diantara ilalang.
Andai saja kau merasakannya, malam itu bibirmu membuatku kaku, beku bagai malam seribu rindu. Apa engkau mengecap rasa yang sama, Sinta? Puluhan jalan telah kita lewati, bahkan negeri di atas awan pernah kita singgahi. Tak heran, jika jalan setapak yang kita daki telah mengajarkan kita untuk saling mengerti, bahwa sapaan tumbuhan di kiri dan kanan telah menopang kita untuk memahami arti bertahan.
Tapi bukankah semua hanya tentang pertemuan dan perpisahan? Lalu bagaimana jika semua tak mendapat restu Tuhan? Ku kira hanya terucap diantara bibir pun tak akan sanggup kita mengucapkan.
Sinta. Maafkan aku, teryata kidang kencana tak merubah apa-apa. Lalu mengapa manusia harus pergi jika suatu hari akan ditinggal lari. Kidang kencana yang kuburu itu ternyata bukan kidang sembarang, kidang kencana yang bertanduk dan bertahtakan intan berlian itu, ternyata membuatku terburu dan termangu. Dialah Kalamarica, yang bisa merubah dirinya menjadi apapun, kapanpun, dan dimanapun. Sinta, kidang yang pernah kau lihat itu, ternyata telah lebih dulu menghanyutkan hatimu, lalu inginmu memburu, tapi bukankah sesuatu yang berkilau itu kadang menipu? Atau, memang aku yang tak bisa menjagamu, Sinta?
Aku berlari, terus berlari, mengejar dan memburu kidang itu, Sinta. Hmm.. Pikirku setalah kudapati kidang itu, rasamu akan bertambah lebih padaku. Busur telah kutarik, dan panah telah menusuk tepat dijantung kidang itu, tapi ternyata itu hanya jelmaan dari Kalamarica. Nafsuku yang telah memburu membuat jiwaku tabu, dan kini aku tahu, ternyata cinta tak pantas diburu, aku belum siap akan akibat yang akan kudapat. Benar kan? Cinta bukan buruan, cinta itu soal pandai-pandainya bertahan, menahan, dan mempertahankan.
Berburu tak harus memburu, bertahan tak mesti melawan, dan pergi tak perlu menyakiti. Cinta itu berjumpa di titik temu, yang melingkar semu tetapi membuat bersatu. Sinta, meski adikku Laksmana telah menjagamu, tapi kecemasanku sebenarnya juga menemanimu. Meski Laksmana telah membuat lingkaran pelindung untukmu, tapi siapa sangka? Tangisan seorang wanita telah merubuhkan benteng pelindung Laksmana. Meski kau didalamnya, tapi bagaimana bisa kesedihan seorang Brahmana telah mengeluarkanmu dari lingkaran maya. Brahmana yang ternyata jelmaan Rahwana itu, orang-orang di Jawa sering menyebutnya juga dengan Dasamuka kan? Dasa itu sepuluh, dan muka adalah wujud. Yang sepuluh itu diramu lalu menjadi semu dan membuat matamu sayu. Sinta, andai aku tahu saat Rahwana menculikmu, tentu aku akan merebutmu.
Ternyata padang Edelweiss tak merubah apapun, semanis apapun gulanya, jika sudah tercampur secuil garam tak akan bisa meredam kelam. Jatayu, sahabat baik ayahmu yang bercerita kepadaku bahwa Rahwana yang telah menculikmu. Kau di gendhong sampai ke negeri sebrang bagai bayi yang masih suka domblong. Puncak Mahameru tak merubah apapun, petani-petani tak akan pulang sebelum berladang, dan para seniman, mereka tak akan hilang sebelum pagelaran dipertontonkan.
Lalu ini yang disebut pergi apa ditinggal pergi, Sinta? Cinta selalu datang dan pergi, tapi mengapa rindu justru semakin membeku? Apa kabarmu di Alengka, Sinta? Hmm.. Aku merindukanmu, aku memimpikan senyummu, meski tawamu kadang membuat tumbuhan putri malu sering termangu.
Benteng berduri itulah, Sinta. Yang berdiri setajam besi dan mencurat penuh karat. Kau tahu? Rindu yang pernah kau titipakan padaku itu kini bercampur debu, membeku dibelatara jiwaku, dan kini telah menghantamku, seolah menamparku untuk segera merebutmu. Tapi, Sinta, bukankah cinta bukan tentang perang puluhan windu, cinta bukan tentang batas dan luas, cinta itu tak terbatas, Sinta. Sekuat apa kita bertahan, lalu mempertahankan sesuatu yang suatu saat bisa bablas itu.
Sinta, yakinlah. Maka teguhlah hatimu, kokohlah batinmu. Senja yang pernah kita nikmati di Semeru itu ternyata masih bercampur biru, meski termangu dan terlihat sendu karena malam memang telah menunggu. Rindumu dari dalam pagar itu telah bisu dan kaku, aku selalu melihatmu, Sinta. Kau mesti tahu, walau pagar yang telah ditanami duri-duri itu tak mengubah rindumu, masih sama seperti dulu. Wangimu tetap sampai, walau kumbang telah menghisapmu, tapi sarimu tetap mekar di pelataran batinku.
Sinta.. Meski perempuan telah membatu, tapi tatapnya tak pernah ragu, sekalipun batu-batu melumut, tapi telaga kebatinannya tak pernah surut. Aku tersudut, ngelangut dimakan sepi sambil memegang kecapi, merindukan bibir yang saling berpagut, aku akan terus menulis syair, meski sampai hilir berhenti mengalir.
Tapi, Sinta, ketahuilah! Mengertilah, bahwa cinta bukan hanya tentang air yang mengalir, karena jika hanya mengalir dia akan berhenti di hilir. Cinta itu api, Sinta, kobarnya mampu menerangi, membakar jiwa yang mati, dan meski telah redup apinya tak pernah surut, hangatnya masih terasa bagai berpagut dan selalu membalut meski diserang kabut.
Mengertilah, Sinta, bersabarlah seperti gunung dan lautan, meski seringkali tak berdampingan, namun keduanya saling merindukan, dan mengirim hujan.
Percayalah! Jembatan yang kini kubangun tak perlu menunggu tahun, Taman Soka akan hujan sehari dengan pembakaran satu malam.
Aku akan menjemputmu, jangan menggerutu, belajarlah terhadap waktu!
(Gendhing Wibisono 2017).
Komentar
Posting Komentar