Kresna, Jiwa Yang Hitam?
"Jlitheng kakangku", begitulah gemuruh suara Bima.
Kau hitam, peteng. Bagiku gelap memancar kilat, memegat cakap, cekat seperti kilat, melekat.
Kresna, namamu. Tak heran ratu seribu negara menawarmu, memburumu, tatkala kau jadi sayembara.
Siapa sanggup, menjadi dalang atas lakon yang digelar sendiri, yang mungkin disiasati, dengan senyum.
Tak jarang lakon paten-patenan, saling membunuh, Kresna hanya tersenyum dalam kerumun.
Seperti politik, hitam. Tak terlihat, tapi nampak, cepat bergerak.
Cerdas, bahkan licik pihak musuh memanggil. Tak heran kau jadi incaran, ya kau bisa memilah dan memilih.
Bahkan lakon yang telah direncanakan, bisa kau belokkan, jadi perdebatan, pertanyaan?
Namun yang sanggup itu tak pernah redup, tak takut. Kau bisa berencana, tapi tak punya kuasa.
Hitam, ya Kresna. Setiap orang perlu memahaminya.
Kau perlu mengerti, warna itu bukan perkara, tapi soal makna.
Setiap hati yang luka, pasti bisa diobati. Resepnya pada kegelapan, kesunyian yang kelam.
Kau hitam, peteng. Bagiku gelap memancar kilat, memegat cakap, cekat seperti kilat, melekat.
Kresna, namamu. Tak heran ratu seribu negara menawarmu, memburumu, tatkala kau jadi sayembara.
Siapa sanggup, menjadi dalang atas lakon yang digelar sendiri, yang mungkin disiasati, dengan senyum.
Tak jarang lakon paten-patenan, saling membunuh, Kresna hanya tersenyum dalam kerumun.
Seperti politik, hitam. Tak terlihat, tapi nampak, cepat bergerak.
Cerdas, bahkan licik pihak musuh memanggil. Tak heran kau jadi incaran, ya kau bisa memilah dan memilih.
Bahkan lakon yang telah direncanakan, bisa kau belokkan, jadi perdebatan, pertanyaan?
Namun yang sanggup itu tak pernah redup, tak takut. Kau bisa berencana, tapi tak punya kuasa.
Hitam, ya Kresna. Setiap orang perlu memahaminya.
Kau perlu mengerti, warna itu bukan perkara, tapi soal makna.
Setiap hati yang luka, pasti bisa diobati. Resepnya pada kegelapan, kesunyian yang kelam.
Komentar
Posting Komentar