Kuda Sembrani: Sinta, Untukmu Rinduku.
Sinta.. Semalam aku memimpikanmu, kita mengulang tentang rindu yang pernah saling menunggu, yang kini selalu menganggu di sanubariku.
Apa kabarmu? Bagaimana tentang luka-luka yang menusuk di rindumu? Apakah duri-duri itu masih berdiri di tembok pangkuan jiwamu? Apakah perempuan masih suka mawar? Yang menurutku mawar itu tak bisa digenggam, lalu apakah tanganmu masih sama, Sinta?
Atau, mawar-mawar dipinggiran pagar taman itu telah membutakanmu? Apakah kau tak melihat, Sinta? Durinya bagai gerigi-gerigi tajam yang selalu melawan rantai? Hmm.. Mungkin aku salah, mawar-mawar itu tak pernah menyakitimu ya. Warnanya melambangkan keberanian dan kekuatan, wanginya telah sampai di hidungmu yang memerah itu.
Sinta, waktu terus menguji kita, ya kau dan aku yang menjalaninya. Kau semakin tak pasti, tapi aku mengerti. Jeritmu didalam mimpi terus menghantuiku, seakan melaknatku sebagai lelaki yang tak berdaya. Rahwana telah lebih dulu mengajakmu terbang mengelilingi angkasa, kau pasti bangga ya, Sinta? Seorang lelaki dengan gagahnya menggendongmu, mengajakmu masuk kedalam samudera kalbu yang didalamnya adalah Taman Soka yang begitu megahnya. Kini para saudagar telah membawa kabar, bahwa di negeri sebrang ada taman bekas padang ilalang yang kini jadi tempat tawanan.
Sinta, aku lebih tenang karena putri dari Wibisana itu selalu menjagamu. Dia setia pada waktu, tak pernah mengingkari setiap pertanyaanku, dia lah dewi yang kusebut saudagar itu, yang menari-menari diatas layar kecemasanku, ia seakan menggambarkan keadaanmu.
Taman jadi obrolan, obrolan ditaman. Tanam menanam didalam taman, yang dibangun adalah perasaan, hingga perasaan semegah taman. Hmm.. Atau, memang cinta tentang ujian? Tentang harapan-harapan yang dihadapkan pada pertentangan? Lalu, kalau sudah seperti itu, berarti cinta itu jadi rebutan, jadi bahan saingan, kadang juga mampir di meja perjudian. Ah, Sinta, itu hanya anggapan mereka saja yang tak mengerti perasaan.
Cinta kan tak pantas disayembarakan ya, cinta itu juga tak pantas jika diperjuangkan, karena jika hanya disayembarakan, cinta akan dihadapkan pada banyak pilihan, lalu jika diperjuangkan, cinta akan diberikan pada kemenangan. Lalu bagaimana dengan kekalahan? Apa mereka tak berhak, Sinta? Bukankah perkara cinta tidak ada batasnya? Aku terus-menerus memikirkan, tapi aku tak pernah memperhitungkannya.
Sinta.. Waktu liburan kita terakhir di Bromo itu, kau pernah mengatakan sesuatu padaku, kau ingat? Sebelum kita mendaki Semeru, sesudah kita memacu rindu bersama kuda coklatku? Pasir-pasir disana telah membulir, menjadi butir, dan menempel di pikir. Seingatku begini, kau mengatakannya dengan ragu, “Kekasih,kau adalah Kuda Sembrani dalam hidupku. Kini batinku pasrah, jiwaku menegadah di punggungmu, kau suatu saat ada yang melebihimu, percayalah itu hanya gelembung-gelembung yang terbang karena tertiup angin.” Tapi aku tak pernah menyadari perkataanmu itu, Sinta. Dan kini, ternyata benar, ada gelembung-gelembung yang kini mengurungmu, yang kini tersapu angin ke negeri Alengka.
Sinta, jiwaku pasrah, ragaku terpisah. Di lempar badai rinduku, batinku kaku diludahi tangismu. Sinta, kaulah semesta hidupku, aku menyebutmu pantulan semu diriku, batinku ikut terkurung didalam penderitaanmu, Sinta. Sekali lagi, maafkan aku. Lalu dosa kah untuk seorang lelaki jika hanya menunggu? Tapi, Sinta, aku terus mengirim sesuatu untukmu. Sesekali juga kukirim hujan rindu ditaman mimpimu, apakah jiwamu terasa basah, Sinta? Aku juga sering mengirim aksara swara yang kutiupkan bersama angin rindu di purnama kesatu, apakah di purnama ketujuh ini rinduku sampai padamu, Sinta?
Tunggu menunggu soal waktu, di panggung rindu aku selalu menulis sesuatu untukmu. Lalu di lampu-lampu teaterku selalu ku sorotkan aksara itu, Sinta, apakah kau tahu? Aksara-aksara yang kutulis disetiap jeda latihanku itulah yang diabadikan para penontonku, yang kini dibingkai dan dipasarkan di toko-toko buku, atau mungkin Rahwana juga pernah membelikannya untukmu?
Ku harap kau tak kaget, jika suatu hari aku menjelma menjadi teratai-teratai di taman itu, menjadi batu, dan menjadi lampu bagi malammu. Aku lah tentang air kotor dibawah teratai itu, tentang kekuranganku. Aku lah tentang batu tak bernyawa itu, yang diam dilempar kemanapun, sekalipun sampai di lautan, aku tetap membatu walau ditampar ombak badai itu. Sinta, aku lah atap bagi tidurmu, seberkas cahaya yang melindungimu, yang menjaga kesetianmu, merangkul jiwamu, dan mengahangati kalbumu.
Sinta, kaulah tentang aku, dan aku tentang masa lalumu. Aku adalah gurumu, juga yang setiap kali sering menjadi muridmu untuk mengajarimu. Aku lah tentang kisahmu, tentang cerita-cerita masa kecilmu. Aku lah Kuda Sembrani itu, yang bersayap dan memayungi matamu, yang mengajakmu membuka kalbumu, aku lah dengan cerita-cerita sebelummu yang kini menjadi masa depanmu. Aku akan menjelma, melebur raga, dan membangun sukma.
Sinta, jika suatu hari ada yang mengantar sesuatu untukmu, peganglah, pakailah, itulah salam rinduku untukmu, ucapan permintaanku padamu, kasihku.
Komentar
Posting Komentar