Semeru Memacu Rindu
Setelah perpisahan kita di puncak bukit tinggi Negeri Atas Angin itu, aku lupa pada sesuatu yang tertunda yang belum tersampaikan padamu, Sinta. Maaf ya, setelah kepalaku terbentur dibebatuan berlumut dekat sungai Pak Tani itu, pikiranku menjadi sedikit kacau.
Pada sesuatu yang tertunda itu, Sinta. Aku selalu mendambakan sebuah pertemuan yang paling istimewa bersamamu. Bagaimana kabarmu, Sinta? Masihkah senyummu yang manis itu masih terasa di gelas-gelas minuman pesanan para undangan pernikahan? Sinta, seringkali setiap purnama sering tertunda, aku selalu menebak dan mengira-ngira saat rembulan tak jadi menampakkan sinarnya.
Hmm.. Kamu tahu? Setiap purnama datang, bahkan disaat gerhana tiba, aku selalu terseyum bangga melihat kerukunan orang-orang di desa. Mereka rukun dan guyup saat memukul kentongan dan lesung bersama-sama. Aku sempat bertanya pada Pak Kades disana, kau ingat kan? Waktu itu kacamata pemberian seorang kakek tua dari negeri Manthili itu tertinggal di meja Pak Kades.
“Pak Kades, kenapa di gerhana bulan ini orang-orang memukul kentongan dan lesung secara bersama-sama? Apakah ini dilakukan setiap terjadi gerhana?” tanyaku pada Pak Kades.
“Hehehe, Nak, kamu sedang dalam keadaan bahaya,” jawab Pak kades sambil tersenyum setengah tertawa.
“Loh, kenapa bapak berkata seperti itu? Memangnya gerhana itu membahayakan?” tanyaku lagi.
“Bukan membahayakan, Nak. Konon kata sesepuh kita dulu Bathara Kala datang untuk mencaplok bulan itu. Bathara Kala adalah simbol dari waktu. Tentang harapan-harapan purnama yang indah. Hanya ada dua pihan dalam hidup ini, Nak. Kita akan melewati waktu, atau kita yang akan dilewati waktu. Walau memang setiap waktu adalah penantian yang panjang, bahkan rumpil, tetapi orang harus berani menerima akibatnya.”
“Lalu bagaimana dengan makna kentongan yang dipukuli itu pak? Hmmm.. saya sangat menikmatinya, ritmenya sangat berirama, sambil menyanyikan sebuah tembang yang sangat merdu sekali.”
“Kentongan yang dipukul dengan irama dan ritme yang beraturan itu, adalah tentang harapan-harapan para manusia tentang alam semesta. Ritmenya sendiri juga diatur, 2 per sepuasnya, tak terhingga. Manusia harus tetap berusaha dan memanjatkan doa terus menerus, sampai terkabulkan. Itulah simbol dari pembuka pintu kebaikan, untuk diri sendiri, keluarga, bangsa dan negara,” jelas Pak Kades sambil menikmati rokoknya.
“Hmm.. saya menjadi semakin mengerti jelas, Pak. Kalau ndak salah sesepuh kita juga pernah berkata beini ya, “Memayu hayuning pribadi, keluarga, lan memayu hayuning bawana,” sekarang saya semakin mengerti, Pak,” jawabku dengan tersenyum.
Sinta, aku sampai lupa. Ternyata walau kita terpisah jarak ribuan kilometer jauhnya, kita masih berdiri dibawah langit yang sama bukan? Sejak Pak Tani menemukanmu itu, aku selalu mengingat tanggalnya, ya meski aku tak pernah tanya padamu kapan hari lahirmu. Aku takut, Sinta, aku tak mau menyakitimu saat mendengar pertanyaan itu, mungkin pertanyaan yang akan mengiris hatimu. Hari dimana Pak Tani menemukanmu diantara bongkahan batu itu, aku menyebutnya sebagai hari ulang tahunmu, Sinta.
Oh iya, dulu sewaktu aku mencari ilmu dan nyantrik ditempat guruku, aku meminta beliau untuk mengajariku menyungging, menatah, dan memulas wayang kulit. Aku ingat betul, tatahan dan sunggingan beliau adalah nomor satu di jaman itu, sekarang aku sulit menemukan reinkarnasi dari sosok hebat itu. Sinta, bagaimana hari ulang tahunmu? Apa di Leiden kamu merayakannya? Hmm.. Ku dengar kamu sangat bahagia ya, mendapat banyak hadiah dari teman-teman kuliahmu. Ada buku-buku, kemudian coklat, dan mungkin banyak sesuatu tentang yang kamu suka, dan membuatmu bahagia.
Maaf, Sinta. Bukan karena aku tak ingat hari bersejarahmu itu, aku selalu menghitung sesuatu yang tak pasti dari pikiranku sendiri. Hmm.. Maafkan aku yang tak bisa memberimu apa-apa, bahkan untuk mengirim surat pun aku tak mampu. Sinta, sebenarnya sebuah jarak bukanlah menjadi masalah ya, tapi kadang jarak itu yang membuat kita lebih dekat, atau mungkin akan membuat kita saling menjauh. Aku sendiri pun selalu luput dengan kalkulasiku sendiri, aku selalu melewatkan waktu, bahkan untuk menyisakannya pun aku tak mampu.
Kabarmu pasti baik-baik saja kan? Sudah berbulan-bulan kita berjauhan ya. Hmm.. apa kau ingat dengan Raja Alengka, Rahwana. Dia kakak Kumbakarna, yang riwayatnya pernah kuceritakan padamu. Sinta, apa kau tahu apa itu waktu? Dalam kehidupan, waktu adalah sesuatu yang akan menggilas dan membuat kita terpaksa dan pasrah untuk meninggalkan sesuatu. Sinta, kamu lah dewi dari reinkarnasi waktu itu, kamulah titisan Dewi Widowati yang menjelma ke dalam tubuh Dewi Kanung waktu itu. Hmm .. Aku ingat cerita saat Rahwana memburu Dewi Widowati ke kahyangan, ganas dan tandas suaranya menggegerkan kahyangan, Dewi Widowati lari ke bumi dan menjelma ke tubuh Dewi Kanung istri Rahwana itu.
Rahwana tahu, bahwa istrinya telah mengandung titisan Dewi Widowati, ia bangga dan mengabarkan kepada semua rakyat Alengka. Dia berjanji apabila anak yg dikandung istrinya itu lahir perempuan, maka akan dijadikan sebagai istrinya. Dewi Kanung galau, hampa hatinya melihat dan mendengar perkataan suaminya. Tak lupa, adik Rahwana yang paling kecil, Gunawan Wibisana namanya, dia juga merasa marah dengan perilaku kakaknya, lelaki yang cerdas dan pandai itu tahu bahwa istri Rahwana akan melahirkan bayi seoarang perempuan. Saat bayi itu lahir, Rahwana sedang pergi melalang buana ke negeri sebrang, Gunawan Wibisana segera mengambil bayi perempuan itu, dia memasukkan bayi itu kedalam peti yang dilapisi berlian permata, sampai pada akhirnya dia melarungnya ke sungai yang menuju Kerajaan Mantili itu.
Akhirnya, adik Rahwana itu memohon pada dewa untuk diberikan bayi seorang lelaki untuk menggantikan bayi perempuan yang dibuang itu. Akhirnya dewa mengabulkan permintaannya, diturunkanlah bayi lelaki yang kuat dan perkasa, yang diciptakan dari mega-mega dari angkasa. Rahwana datang untuk mengambil anaknya, dia kaget bahwa bayi yang dikandung istrinya telah lahir lelaki. Rahwana marah, bayi itu diseret dan ditendang seperti bola, bayi itu semakin besar, Sinta, semakin besar menantang Rahwana, sampai ia takut dan lari. Akhrinya dipisahlah oleh adiknya, Gunawan Wibisana menjelaskan pada Rahwana bahwa memang bayi lelaki itulahyang dilahirkan oleh istrinya. Akhirnya bayi lelaki itu diberi nama Indrajit atau Raden Megananda.
Sinta, tragis ya kisah Rahwana. Hmm .. Dia tak perduli pada kemanusiaan, apa yang ia inginkan selalu tak dimulai dengan harapan dan doa, dia menghalalkan segala cara.
Sinta.. Apakah aku boleh mengatakannya sejujurnya padamu? Bayi perempuan itulah yang dibesarkan oleh raja Mantili, Prabu Janaka, yang ditemukan di bongkahan lumut bebatuan sungai.
Pasti kamu tidak percaya ya? Setelah sekian lama perpisahan kita, bahwa tak terasa belum semuanya telah kuungkapkannya padamu. Tapi itu dulu, biarlah waktu yang melewati kenangan-kenangan masa lalu.
Sinta. Maaf kalau ceritaku ini kurang bisa kau mengerti, aku tak pandai untuk mengingat masa lalu. Karena setiap waktu adalah kenangan, walau sedetik setelahnya. Sinta, disini hari-hariku kuisi dengan menulis, ya aku selalu menulis tentangmu, tentang keindahan dan kecantikan yang ada pada dirimu.
Sinta, apa kau masih ingat dengan adikku? Si Laksmana? Hmm.. Dulu dia yang waktu masih kecil pernah mengantarmu pulang dengan sepeda onthel Gazzele yang dulu pernah kubawa untuk mengajakmu mengelilingi taman Balekambang, kini dia sudah besar, Sinta.
Dia selalu berkata padaku, begini “ Kapan Kak Sinta pulang dari Leiden? Aku ingin mengajaknya mengenal alam malam dan memuncak di Mahameru.”
“Adikku, bukankah Mahameru itu tentang keyakinan, dan misteri? Lalu mengapa kamu ingin mengajak Sinta bersamaku untuk sekedar bermalam di puncaknya? Bukankah itu jauh?” tanyaku pada Laksmana.
“Kakakku, Mahameru memang tentang keyakinan dan misteri. Tapi, bukankah misteri itu bisa kita pecahkan karena keyakinan?” imbuhnya menyaut pertanyaanku.
Sinta, adikku Laksmana ingin mengajakmu bersamaku untuk sekedar bermalam di puncak Mahameru. Hmm.. Gunung yang katanya indah itu, konon menyimpan ribuan misteri, Semeru juga pusat alam semesta secara fisik, juga metafisik. Sinta, aku ingin mengajakmu terbaring bebas melihat keindahan Ranu Kumbolo, airnya yang bening menggambarkan kesucian hatimu. Kau tau, Sinta? Anginnya mengusir tanya akan yang yang selalu mengerut, aromanya menggugah semangatku, aku jadi ingat bau tubuhmu. Aku ingin mengajakmu melewati tanjakan cinta yang katanya jika dijalani dengan penuh keyakinan, maka cinta seseorang akan langgeng. Hihihi, aku sudah tak sabar, Sinta.
Sinta.. Bagaimana? Desember tinggal menghitung hari? Apa kamu tak ingin segera kembali? Aku sudah tak sabar mengajakmu juga menikmati pemandangan Cemoro Kandang, aku ingin kita merawat bersama harumnya cemara di bulan Desember, kita akan melewati Jambangan juga, padang rumput yang ditumbuhi bunga Edelweiss. Hmm.. Putihnya sepertimu, Sinta. Lagi-lagi kesucian yang ingin kusampaikan, batangnya kokoh, kuat menahan angin di padang yang lapang.
Kau tahu, Sinta? Bunga Edelweiss juga salah satu bunga favorit Adolf Hitler, dia menjadikan Edelweiss sebagai lambang dan simbol pada Wehrmacht dan Waffen-SS. Hmm, alangkah indahnya bunga itu, hingga semua menjadikannya sebagai lambang dan simbol dimana pun. Konon, Edelweiss juga melabangkan keabadian cinta, Sinta, aku sudah tak sabar untuk mengajakmu. Hmm.. itulah, Sinta, keagungan cinta tuhan pada alam semesta, aku percaya, aku sudah tak sabar mengajakmu. Bunga yang putih, gagah, dan indah itulah yang membuatku yakin untuk tetap bertahan, itulah yang membuat manusia tetap hidup dalam kekurangan, harapan-harapan itulah, Sinta. The Flower Power, Sinta, aku menunggumu.
Di puncak kangenku ini, Sinta. Aku ingin mengajakmu melangkah, saling berharap, kita akan dihadapkan pada tantangan walau tak saling menatap. Tapi ingatlah, Sinta. Berkacalah pada bening matamu sendiri, lihatlah, bayangkan kini terselip Edelweiss ditelingamu, yakinlah Sinta. Kita akan melangkah bersama guguran cemara dan tetesan embun subuh di Semeru. Sampai pada akhirnya kita akan memasuki, melewati, merasakan, dan pada puncaknya kita akan kembali untuk berserah diri. Maka, nikmatilah, mari kita menari, menyambut Januari bersama para pendaki di puncak tertinggi.
Sinta, mari saling memacu, kita harus belajar dari puncak-puncak yang terpisah itu, tapi ku ingin kamulah puncak pertama dan terakhirku, kita akan hanyut dalam titik temu bersama Senja di Gunung Semeru.
Salam untukmu, manisku!
(Gendhing Wibisono)
Komentar
Posting Komentar