Sinta #2

Sinta, bagaimana dengan suratku? 

Apakah surat itu telah benar-benar sampai di tanganmu? Atau hanya membentur dimeja-meja kantor pos?
Ah, hari hanyalah misteri. Hanya senyummu yang kini menghiasi lukisan-lukisan alam di teras rumahku. Atau mungkin, prenjak-prenjak itu sudah masuk ke pasar-pasar, lalu ditawar dan ditukar dengan ikan segar?

Kurasa kalau memang tuhan mengijinkan, prenjak itu mungkin sudah parkir di halaman rumahmu. Tapi rasa itu seperti orang berjudi, tak tau kapan dan berapa yang akan dimuculkan dan dihadapi.

Sinta, sekali lagi kulipat suratku ini, mungkin ini yang terakhir kali kuterbangkan ke rumahmu, semoga pintu-pintu istanamu menyambut dan mengijinkan surat ini menjadi sarapanmu.

Tapi Sinta, maaf ya. Surat yang kulipat kecil itu ternyata tak masuk kurasi dalam itungan timbangan jasa pengiriman, bebannya terlalu berat untuk dimuat di mobil biru dari perusahaan jasa itu, entah JNE atau kantor pos, semua telah menolaknya Sinta.

Cinta memang tentang perasaan, tentang harapan, tergantung seberapa kuat kau bertahan.

Aku terus mengejar waktu, namun sudah berulang kali bukan kusampaikan padamu bahwa waktu terus memburu, aku harus mengejar waktu. 

Oh iya, Sinta... Lupakan sejenak tentang suratku itu, aku tak mau mengganggumu dalam hari bahagiamu. Aku mendengar banyak kantor pos yang mulai tutup ya? Sebab kini surat tak seperti emas yang mempunyai karat, dan kau tau? Surat-surat kini harus kalah dengan lagu-lagu, aku tak tau harus bagaimana lagi, mungkin syair-syairku juga akan hanyut dalam dilema itu.

Bagaimana studimu di salah satu universitas rekomendasi ayahmu itu? Ku dengar kau melanjutkan pendidikanmu itu di pusat kota Mithila, sebelah Uttar Pardesh di Bihar, India. Lalu bagaimana dengan hobimu? Ya kamu suka membaca kan Sinta?

Tapi kudengar bacaanmu terlalu berat ya? tentang buku-buku puluhan tahun lalu, seperti Twilight, Pride and Prijudice, Harry Potter, dan mungkin masih banyak lainnya yang menceritakan tentang asmara atau apa saja yang kau suka.

Jauh ya Sinta, walau ribuan kilometer jauhnya, waktu pasti akan berlalu. Mungkin surat-suratku juga akan ikut tersapu?

Ku tau Sinta, kau tak sama dengan perempuan lain yang suka mengadu ketika tak mampu.

20 tahun telah berlalu, tapi aku masih saja ingin bercerita tentang Dewi Widowati yang pernah bertapa di sebuah gunung tepatnya di Lokapala. Waktu itu tak ada lelaki yang berani mendekati, sebab pakaian seorang pertapa siapa yang tega menyapa? Lusuh, rambutnya acak-acakan, pakai lipstik pun masih curi-curi dari ibunya.

Beda denganmu Sinta, kau kini lebih pintar untuk berdandan, memakai gincu, bahkan mencoba untuk sedikit membuka lehermu yang manis seperti madu itu. Sepertinya ulahmu itu telah membuat banyak lelaki menunggumu, merayumu, bahkan banyak yang membuatkanmu lagu, atau hanya sekedar menyapamu.

Tapi aku tak pernah tertarik dengan dandananmu, Sinta. Karena kata Kresna, cantik itu yang mengerti tanpa bertanya. Aku lebih suka saat melihat kau membaca, rambutmu tergerai di kursi bagai pelepah palma, matamu yang tajam membuatku hanyut dalam pangkuanmu.

Tapi itu dulu, Sinta. Sebelum kusadari bahwa semenjak kepergianmu telah membuat surat-suratku layu dan hanyut di sungai itu, diterpa hujan di Mithilia.

Sinta, aku juga pernah mengatakan bahwa cantik itu seperti Werkudara, yang dijegal tak jatuh, dibanting tak pecah, dipukul tak hancur. Aku ingin pinggulmu yang kuat itu seperti perahu yang akan membawa setiap lelaki menyebrangi lautan api yang pernah kau lalui.

Sinta, bukankah perang dunia II sudah berakhir? Tapi mengapa hatiku masih berdebar, jantungku semakin tak kuat, bagai dikejar bayang-bayang luka di masa silam? Apakah memang surat-suratku hanya berisi tentang harapan yang tak bertuan? 

Di Mithilia, aku punya saudara yang gemar membaca dan mempelajari ilmu-ilmu sejarah, namanya Gunawan Wibisana, dia bekerja di perpustakaan universitasmu. Aku pernah menanyakan padanya tentangmu, tentang hari-harimu di kampus itu.

Ku kira kau tak suka mampir ke perpustakaan walau memang membaca adalah hobimu. Siang itu, dia melihatmu niak ke lantai dua, di meja kau sarapan buku-buku yang berbeda dengan biasanya. Kau sedang memegang buku Rhinoceros Success, mungkin kau membutuhkan energi dari Scott Alexander, tetapi Sinta? Di atas meja juga ada buku yang lain tentang cara memotivasi diri. Apa keyakinanmu menurun? Bukankah kini kau semakin tangguh? 

Lalu mengapa juga masih ada "Awaken The Giant Within" yang ditulis Anthony Robbins disampingmu?

Atau, kau sudah meninggalkan dunia teater? dunia musik? Tapi kudengar dari pedagang pasar kau masih sering melihat pertunjukan wayang kulit disana?

Sinta, mengenalmu adalah anugerah, mungkin harapanku seperti suratku ini, yang menepi disapu ombak. Tapi, bukankah yang sudah hancur bisa dirakit kembali, dihiasi, lalu diwarnai? Paling tidak aku sudah berusaha, Sinta.

Aku akan tetap menulis suratku ini, sampai engkau tahu, walau gedung-gedung kini telah menggeser sungai, tapi aku yakin suratku pasti sampai, mengamhampar di pelataran rumahmu dan menyapa didinding kamarmu.

Aku berharap, suatu saat suratku ini bisa kugantungkan sendiri di tembok kamarmu, atau tuhan akan berkata lain? Surat yang kutulis dan kulipat ini hanya mengikis diterpa gerimis dilebur tangis.

Maaf, ternyata aku hanya hanyut dalam tangis, hingga surat yang kutulis ini ternyata belum sempat kukirim kepadamu, semoga kau mengerti.

Sampai jumpa di kisah selanjutnya, yang mungkin bersama sesuatu yang tertunda. Atau kita akan bertemu ditempat, cerita, atau kenangan lama yang belum aku melukisnya.

Salam...



Komentar

Wayang dan sekitarnya