Sinta #3

Kincir Angin dan Semangkok Harapan di Leiden


Sinta, apa kabar? 
Kurasa sudah berbulan-bulan ya suratku untukmu tertunda. Tak apa, kurasa memang katak-katak di sungai itu masih asyik bermain dengan kapal-kapalan guguran daun mangkok dari kebun pak tani seberang ya. 


Aku suka dengan mereka, warnya melumut tulus seperti dedaunan surga, mereka menari sambil bernyanyi, hingga senja mendorong mereka kembali ke tepi sungai. Malamnya aku benar-benar kesepian, Sinta.. Katak-katak telah pulang ke gubuknya masing-masing, seketika sungai yang tak pernah putus itu kini harus hening diselimuti malam yang dingin.


Sinta, bagaimana dengan suratku yang pertama? 

Apa engkau suka dengan isinya? Ku dengar sekarang kau sudah tak tinggal di Mithila pusat kota negara bagian India ya? Hmmm … Ku rasa baru kemarin malam kau membaca buku dan minum segelas kopi disana. Caramu meminum pun berbeda dengan wanita lain, kau lebih suka memegang gelas itu dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananmu masih saja erat memegang buku karangan Anthony Robbins yang kau  pinjam dari perpustakaan universitasmu.


Bukankah begitu, Sinta? 

Aku hanya mendengarnya dari sahabatku yang bekerja di café itu, dia menurutku adalah barista yang sangat sopan dan manis dalam membuat kopi, dan aku sudah berbicara padanya untuk selalu bisa membuatkan kopi yang paling enak untukmu, ya walau cuma lewat telpon aku menyampaikannya.


Oh iya, bagaimana dengan tempat tinggalmu yang sekarang? Ku dengar dari temanku sekarang kamu melanjutkan studimu di Universitas Leiden ya? Wah hebat ya, kau selalu mengejar ilmu walau kurasa pengetahuanmu sudah cukup untuk setiap lelaki yang ingin melamarmu. 

Maaf ya, aku bukan tak sempat menghampirimu, tapi aku memang belum sempat untuk menyusulmu. Sekarang aku masih di Jakarta untuk menyelesaikan produksi drama kolaborasi tentang kesetiaan sumpah Drupadi, Sinta.


Apa kau tega, Sinta? Mendengar seorang wanita yang harus membagi cintanya untuk lima pria bersaudara? Kurasa siapa kini wanita yang bisa sepertinya, tak ada. Drupadi hanya diam saja, menerima apa adanya. 13 tahun diasingkan bersama pandhawa di hutan belantara, Drupadi tetap bertahan. Hmmm.. lalu juga seorang wanita yang rela mengorbankan raganya untuk dijadikan barang taruhan, Drupadi hanya diam, tak melawan. 


Saat itu, di kerajaan Hastina semua tokoh, saudara, bahkan orang-orang tua berkumpul untuk menyaksikannya, mereka hanya diam saja, Sinta. Drupadi juga seperti barang rebutan, di sayembarakan di kerajaan Pancala, jadi buruan raja seribu negara. Saat itu, datanglah Arjuna, yang waktu itu menyamar sebagai Parta. Pergi membawa Drupadi adalah beban juga, seorang wanita yang jadi rebutan seribu negara kini harus tidur beratap kecemasan.


Tapi Drupadi, lebih memilih diam. Rela merawat cinta yang memang bukan dagangan itu dalam gubuk yang suram, Pandawa hanya murung saja, memikirkan perang melawan kurawa. Hmmm.. Aku heran, Sinta. Di Jakarta berbanding terbalik, kini Drupadi jadi wanita sosialita, tak suka dirumah, apalagi memasak untuk suaminya. Yang kutemui kini Drupadi Jakarta banyak yang bekerja di kantor-kantor jasa, kantor akuntan, juga di bank-bank swasta. Justru yang dilayani malah suami orang, di hotel-hotel dan digedung tinggi Drupadi Jakarta diceritakan berbeda dengan aslinya, entah ini kemauan dalang, atau memang jaman yang menekan.


Sinta, mungkin kamu sudah bosan ya melihat pertunjukan wayang. Temanku dari Solo belum lama bercerita kepadaku, dia melihatmu di Bimhuis, Amsterdam. Katanya kamu membeli 2 tiket untuk menonton konser musik Jazz internasinal ya?


Hmmm .. Bukankah kalau untukmu saja cukup satu ya, atau yang satunya itu untuk kursi kosong disebelahmu? Kalau memang seperti itu, megah sekali ya perasaanmu, Sinta. Aku selalu heran dengan sana, di Bimhuis setiap tahunnya menggelar konser lebih dari 300 kali. Apakah kau selalu rutin menontonnya? Hehe


Tak apa, Sinta. Seperti cinta, walau sering kali dipertemukan, diluar akan terlihat kemegahan. Tapi apakah kemegahan cinta yang seperti itu yang kau harapkan?


Disini, Djaduk Ferianto juga sering menggelar konser, seperti Jazz Gunung dan Pasar Keroncong, tapi keduanya itu hanya digelar setahun sekali. Maksudku begini, cinta bukan soal hitung-hitungan. Walau sepi, kuharap engkau tetap ramai dikesepian itu.


Mungkin setiap perempuan lebih paham ya, tak perlu kujelas-jelaskan lagi. Hehe..


Sinta, apakah benar sekarang kau juga sudah tak suka nonton teater ya? Padahal waktu itu aku ingin mengajakmu nonton teater ‘Bunga Penutup Abad’ adaptasi dari novel klasik karya Pramoedya Ananta Toer yang waktu itu dipentaskan di Bandung. Hmmm.. Tetapi aku juga tak jadi menonton, Sinta, sebab waktu memang tak memburu saat itu.


Maafkan aku ya, Sinta.


Aku kalo ngomong, suka ngelantur. Padahal matamu yang indah itu tak suka jika membaca tulisan yang terlalu panjang, aku takut merusak matamu. 


Ya, kudengar pertunjukannya bagus sekali, apalagi Happy Salma yang berperan sebagai Nyai Ontosoroh, hmmm dia sangat tegas dan wibawa sekali menjiwai perannya. Nyai Ontosoroh juga sangat tegas saat mengatakan “Jangan sebut aku perempuan sejati, jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai”.., serentak para penonton di gedung itu bersorak kagum dengannya. Sinta, mungkin kau juga pernah bertanya pada dirimu sendiri, apakah cinta pada pandangan pertama itu ada. Hmmm .. aku juga tak bisa menjawabnya, sebab soal rasa tak bisa diraba, karena yang kita terima adalah hadirnya. 


Selain Nyai Ontosoroh, aku juga ingin memperkenalkan putrinya, Annelies namanya. Duh, matanya itu memancarkan keyakinan, membangkitkan gairah dan semangat.. Hmmm rambutnya, senyumnya, mencuri hati setiap lelaki yang memandangnya. Tapi, diceritakan bahwa Annelies, hmmm … orang bilang si anak peranakan, maklum ayah Belanda dan ibunya pribumi. Jatuh cinta sama Minke ya, ah mungkin kamu lebih tau Sinta, atau juga sudah membacanya berulangkali.


Sejujurnya, Sinta, aku masih ingin bercerita lebih panjang lagi padamu, tapi kertasku sudah hampir habis, dan tintaku mulai pudar. Apa kau tak ingin sekedar mampir ke bukit yang didalamya kubuat taman didekat lereng Merapi itu, Sinta?


Hmmm.. Kok aku masih belu bisa move on dari cerita jaman kolonial Belanda ya, Sinta. Di taman dekat lereng merapi itu konon sangat indah, banyak pasangan kekasih yang bermain kesana. Atau mungkin pergi ke taman adalah salah satu acara agar hubungan mereka langgeng ya, Sinta? Kau ingat? Ternyata cinta bukan tentang keindahan, aku sering membabat ilalang di hutan-hutan dekat kota Sri Langka juga, hmm disana kubangun taman yang begitu indah, tapi ternyata taman tak membuat orang nyaman, bahkan taman yang kubangun itu pernah dirusak oleh bangsa kera. Ah, semua tentang kenangan, Sinta. Aku tak mau mengingatnya lagi, cukup.


Cinta memang begitu, Sinta. Meski berulang kali Chairil Anwar mengatakan bahwa “..cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar”, tapi manusia tak pernah kapok dengan cinta. Padahal membangun itu tak mudah, sekuat apapun bangunannya kalo memang Tuhan tak mengijinkan yang tersisa hanya sia-sia. Aku jadi ingat, nenekku pernah menceritakan kisah cinta putri Cina yang pernah bersanding dengan raja-raja nusantara, hmmm.. mungkin kau pernah dengar Putri Ong Tien, salah satu putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Dia adalah seorang putri yang sangat cantik, hari-harinya dihabiskan dengan mempelajari filsafat Cina dan kaligrafi Cina. 


Tak lupa, si putri juga sangat kritis, persis sepertimu Sinta. Putri Ong Tien jatuh cinta pada pandangan pertama, saat itu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang sangat hebat dan cerdas tentang obat-obatan tengah duduk diantara tamu agung istana, hmmm sang putrid terkesima melihatnya. Singkat cerita sang kaisar tak menyetujui hungungan mereka, tapi lama kelamaan kaisar tak tega melihat sang putri yang terus-menerus mengurung diri dikamar, akhirnya sang ayah mengijinkan sang putri untuk menyusul sunan ke Jawa.


Kau tau, Sinta? Cinta tak mengenal batas, walau ribuan kilometer jauhnya, namun layar tak boleh padam. Putri Ong Tien menyusul sunan ke Jawa, selama 2 bulan lamanya.. Hmmm kira-kira kalau hitungan sekarang ya 40 hari lebih sang putri didalam kapal melabuhi samudera dan melawan kerasnya ombak lautan. Benar kata dalang-dalang wayang kulit itu, “..ibarat wong numpak prahu, lumampah tanpa welah, ing madyaning jalanidhi, temah gonjing hanggonjang ing pagulingan”  begini maksudnya kalau sudah cinta itu tak harus menunggu lelaki yang merayu, kalau perlu ibarat menaiki perahu dan membelah ombak di lautan, cinta pasti akan jatuh dipelukan.


Akhir cerita mereka bertemu di Kuningan, mereka menikah dan sang putri dibangunkan istana yang megah oleh Sunan di Cirebon.



Sinta, maksudku begini.. Hmm, sebelumnya aku minta maaf kalau ceritaku kurang runtut, aku tak seperti Kresna yang paham dan fasih dalam bercerita. Maaf ya, aku belum bisa menyusulmu ke Leiden, bahkan untuk mengirim surat pun aku tak mampu. 


Sinta, disana sudah tengah malam ya? 

Mungkin sudah pukul 00.00 ya?  Hmm.. disini baru saja selesai dikumandangkan adzan subuh, aku tak bisa tidur Sinta. Kenapa kamu hanya diam? Jangan suka melamun, ya!
Atau kau merasa tak enak padaku? Setelah seharian kau menerima materi dikampus, mungkin kau sudah lelah ya? Tidurlah, Sinta! Semoga, kita esok akan bertemu di Leiden. 


Oh ya, aku ingin kau mengajakku untuk melihat buku-buku kuno di perpustakaan Leiden yang konon katanya manuscript dan buku-buku sastra Jawa disana itu kalau dijajar kiloan meter jauhnya ya? Aku ingin membaca Babat Tanah Jawa, dll.


Ku harap terusan-terusan dan kanal yang menjadi jalur perahu itu akan mengantar katak-katak hijau yang membawa suratku itu ke meja belajarmu, dan mangkok yang kubuat dari daun itu semoga bisa mewadahi surat yang kutulis itu.


Sinta, walau kecil semoga engkau tak berubah, tetap seperti Leiden yang kecil, ramah, tenang, dan indah.


Tapi aku takut, Sinta. Kau jadi buruan, jadi dambaan, juga impian setiap orang. Semoga kau tetap setia menjaga kualitasmu.


Sampai jumpa dikisah selanjutnya, Sinta.

Komentar

Wayang dan sekitarnya