Sinta, Untukmu Segenap Keteguhan Yang Terbentang

Sinta .. Apa kabarmu? Sudah cukup lama ya aku tak menulis surat untukmu.

Surat terakhir yang kutitipkan pada Hanoman kepadamu itulah yang menjadi dasar kerinduanku atas kepergianmu. Surat yang bungkusnya dari daun pandan itu yang kutitipkan untukmu.
Apakah cinta itu selalu tentang pengorbanan? Lalu siapa yang berkorban dan apa yang dikorbankan untuk semua ini, Sinta? Kini jembatan yang diborong Hanoman dan teman-temannya masih dalam proses penggarapan, hampir 80% proyek itu telah dikerjakan. Aku terus mengejarnya, Sinta.

Kalau cinta itu tentang pengorbanan, maka jembatan yang membelah lauatan itu tak akan mampu membendung ombak diantara Alengka dan Ayodya. Sinta, cinta itu tentang keiklasan, juga tentang keteguhan yang telah mengancamnya.

Sinta, kesabaran dan keteguhanmu itulah yang membuat lautan tetap tenang walau karang selalu mengancam. Keiklasanmu lah yang menopang kaki-kaki kawanan Hanoman itu, kaulah penguat bebatuan yang membentang itu.

Sinta, dilautan aku sering bertemu dengan para nahkoda yang menggiring kapalnya, banyak saudagar didalamnya, mereka mengabarkan keadaanmu.

Suatu waktu aku berjumpa dengan seorang saudagar dari negeri Alengka, begini katanya “ Tuan, di negeri seberang ada seorang perempuan yang dulunya cantik kini menjadi kusut, kurus, seperti bunga yang tak terawat, apakah Tuan mengenalnya? Katanya perempuan itu dari negeri Ayodya?”

Hmm .. Aku menangis mendengarnya, Sinta. Benar kata Hanoman, cincin yang kutitipkan untukmu itu menjadi longgar di jari manismu.
Aku pun bertanya pada saudagar itu, “Apakah Tuan melihatnya? Lalu mengapa Tuan bisa berbicara dengannya?”
Saudagar itu menjawab, “ Ya, saya sempat berbicara padanya. Waktu itu Tuan Rahwana telah memanggil saya untuk mengukur gaun pengantin perempuan.”
Aku sempat kaget, kemudian aku bertanya kembali “ Maksud Tuan bagaimana? Gaun pengantin untuk siapa?”
“Gaun pengantin untuk putri Manthili, Tuan. Di negeri seberang, Tuan Rahwana telah melamar Sinta. Seminggu yang lalu raja itu telah melakukan proses Kumbokarnan, ya adat yang biasa dilakukan di Alengka sebelum pernikahan berlangsung, yaitu mempersiapkan dan membagi tugas-tugas di hari pernikahan.”
Aku pun semakin kaget, Sinta. Lalu kutanya lagi pada saudagar itu, “Tuan, saya ingin bertanya sesuatu hal, bagaimana jika kekasih Tuan direbut oleh orang lain, padahal Tuan sangat mencintainya?”
Dia pun menjawab, “Itu bukanlah pertanyaan, sebagai seorang lelaki, saya akan merebutnya kembali, itulah cara yang bisa kulakukan.”

Sinta, saudagar dari Alengka itulah yang membakar semangatku. Kini proyek yang kupercayakan pada Hanoman itu hampir dirampungkan, sudah 95%, tinggal menunggu tahap penyelesaian. Sinta, bukankah tujuan itu adalah nomor sekian? Yang terpenting prosesnya. Jika prosesnya baik, maka hasilnya akan baik pula.

Sinta, sebelum jembatan itu kuselesaikan, pasukan Alengka lebih dulu menghancurkannya. Kau tahu Sinta? Bukankah setiap proses adalah ujian.

Semenjak penculikan itu, Sinta, kau masih diam, membatu. Kau masih tak membalas surat-suratku. Tapi, kini ku tahu diam tak mesti padam.

Seribu bisu yang kau timbun didalam perasaan itulah yang memperkuat bendungan dihadapan ombak lautan. Jembatan itu kini sudah jadi, aku tak mau menyia-nyiakannya.

Sinta, lautan dibendung jalan, jalannya menuju latarmu. Taman yang kau mau bukanlah yang ditumbuhi mawar ribuan, tapi lelumutan yang hijaunya seperti permata berkilauan.
Aku akan datang bersama suratku, menjemputmu disebuah jalan kenangan yang pernah kita renungkan.

Komentar

Wayang dan sekitarnya